My photo
Tangerang, Banten, Indonesia

Blog Archive


Monday, February 16, 2009

No Body Perfect!

No body perfect. Suatu ungkapan yang sangat familiar & mudah diutarakan yah, but pada kenyataannya tidak mudah untuk diterima dan dihadapi. Saya mendapati banyak orang tidak mudah menerima & memaklumi kenyataan ungkapan itu dalam diri orang-orang di sekitarnya. Penolakan, kepahitan hati, antipati dan dendam dengan segala implementasinya adalah buah-buah dari ketidaksanggupan menerima bahwa no body perfect.

Saya rasa setiap orang mengalami pergulatan untuk menerima bahwa memang tidak ada yang sempurna. Jika saja, idealnya, setiap orang mampu menerima, memaklumi kelemahan orang lain dan karenanya bisa mengampuni dan mencari solusi terhadap ketidaksempurnaan sesama dan dirinya sendiri, dengan saling melengkapi dan menyempurnakan satu sama lain, maka berbahagialah seluruh umat manusia di bumi ini. Hidup menjadi terasa lebih mudah untuk dijalani bersama, dan pastinya Kerajaan Allah akan tercipta di bumi ini. I’m dreaming of it...

Yah...namun realitas yang kita hadapi sekarang jelas masih jauh dari ideal. Kenyataan yang ada orang saling menjatuhkan, bahkan mencari-cari kesalahan yang sering kali dilatarbelakangi dari pengalaman pahit yang pernah dialami dan membekas, membuahkan sikap ‘membalas’ dalam berbagai bentuk pengejawantahannya yang sebenarnya didasari naluri. Kalau dipikir dalam-dalam, useless to do yah... Ndak ada goal yang sejalan dengan kehendak Allah dengan sikap seperti itu.

Ah...saya jadi berpikir sejauh itu dari pengalaman yang terjadi akhir-akhir ini. Saya memang sedang menghadapi tipikal orang yang mengalami masalah penerimaan terhadap ketidaksempurnaan kronis. Ketidakmampuan menerima ketidaksempurnaan diri sendiri telah menjadi dasar ketidakmampuan menerima ketidaksempurnaan diri orang lain di sekitarnya. Beliau sulit sekali menerima masukan, kritik, cepat tersinggung, dan cenderung merugikan orang lain dengan masalah internalnya itu. Menjadi over protektif terhadap dirinya sendiri dan cenderung berpandangan negatif terhadap orang-orang di sekitarnya dan mencari cara melindungi dirinya tidak perduli itu merugikan orang lain atau tidak. Mencoba menutupi kekurangannya dengan mencari cara agar orang lain menilainya baik, tidak perduli dengan cara menjatuhkan orang lain atau bahkan melakukan pembunuhan karakter orang lain demi kepentingannya sendiri. Sangat sulit menerima kekurangan orang lain, dan seringkali menjadikannya alat untuk mencoba mencari identitas keunggulannya, terlebih di mata orang lain. Saya rasa orang ini mengalami ketakutan yang akut di dalam jiwanya karena ketidakmampuan menerima diri sendiri.

Kalau mau jujur, pusing juga menghadapi tipikal orang seperti itu. Orientasinya tidak mencoba mencari solusi jika ada masalah, malah mengembangkan satu masalah menjadi masalah-masalah baru. Menilai satu masalah hanya dari sudut pandangnya yang sempit saja, dan bahayanya mengambil tindakan berdasarkan sudut pandangnya yang sangat terpengaruh kondisi emosionalnya yang tidak bisa menerima ketidaksempurnaan orang lain. Menghukum orang lain atas dasar prasangka negatifnya, penilaian subyektifnya pribadi yang sama sekali tidak bisa dijadikan dasar yang ideal untuk membuat keputusan dan tindakan eksekusi yang fair.

Pernah menghadapi orang seperti itu, guys? Hm... No body perfect ya... Ndak perduli apakah seorang biarawati atau awam, ndak perduli seorang bos besar atau seorang bawahan.

Well, seperti saya berusaha menerima kekurangan diri saya apa adanya, saya pun berusaha menerima kekurangan ‘orang’ yang saya hadapi ini. Being good person and full of kindness to this guy adalah jalan yang tepat yang senantiasa harus saya perjuangkan, walaupun memang tidak mudah (so...please pray for me guys!) Seperti apa yang diteladankan oleh Sr. Teresa dari Liseux dalam menghadapi orang yang menyebalkan dan merugikan orang lain. Dia memilih untuk terus berjuang untuk menerima orang lain apa adanya dan menjadi pribadi yang baik bagi orang tersebut, bahkan berjuang untuk mencintai orang tersebut, mendoakannya, walaupun dia memang harus bergulat melawan dirinya sendiri untuk tidak mengimplementasikan kehendaknya sendiri (untuk tidak menerima orang itu apa adanya dan mementingkan dirinya sendiri dan bertindak bdk. naluri), melainkan kehendak Allah. Sr. Teresa berusaha mengeluarkan ‘sisi baik’ dari orang ini dengan sikap yang hangat dan penuh kasih terhadapnya, bukan dengan memancing sisi buruknya dengan menolak dan menghukumnya. Sr. Teresa sangat menyadari bahwa hanya kasih yang bisa membawa orang ini kembali pada jalur yang benar, bukan dengan penolakan dan penghukuman. Inilah kehendak Allah.

Setiap orang memang memiliki naluri (seperti halnya hewan) untuk cenderung protektif terhadap diri sendiri, tidak menyukai dan menyerang (balik) pihak yang dirasa membahayakannya, namun sebagai manusia kita diperlengkapi oleh akal budi yang bisa mempertimbangkan mana yang baik dan mana yang tidak baik, mana yang etis dan sesuai kehendak Allah dan mana yang tidak. Dalam hal ini, apakah kehendak Allah itu? Seperti halnya Allah menerima kita apa adanya dan memancing ‘sisi baik’ kita bukan dengan penghukuman, melainkan dengan Hadiah terindahnya bagi manusia dalam pribadi Sang Putera, itulah kehendak Allah bagi kita untuk kita lakukan terhadap sesama. Akal budilah yang menimbulkan kesadaran demikian dalam diri Sr. Teresa dan seharusnya kesadaran bagi kita semua. Akal budilah yang membedakan manusia dengan hewan. Jadi bagaimana kita berusaha untuk menjadi manusia (seutuhnya) - dengan berpikir, bersudut pandang dan bertindak tidak hanya berdasarkan naluri, melainkan – terutama – dipengaruhi oleh akal budi & hati kita yang diterangi Roh-Nya - itulah tantangan kita, perjuangan kita, karena dengan mewujudkannya, maka kehendak Allah akan terwujud sepenuhnya.

No comments: