My photo
Tangerang, Banten, Indonesia

Blog Archive


Wednesday, December 19, 2007

"Siapakah saudara-Ku?"

Tetapi Ia menjawab mereka: "Ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku ialah mereka, yang mendengarkan firman Allah dan melakukannya." (Lukas 8: 21)

Bacaan minggu Adven kedua ini (Lukas 8:19-21) sungguh membantu saya untuk merefleksikan bagaimana saya hidup di tengah komunitas basis sehari-hari. Menjadi saudara..ya, apakah saya sungguh telah menjadi saudara bagi Yesus melalui sesama saya? Menjadi saudara bagi-Nya adalah menjadi saudara bagi sesama saya seperti yang Dia kehendaki.

Ndak bisa disangkal, kecondongan untuk memperhatikan dan mementingkan keinginan sendiri dan bersikap kurang perduli terhadap sesama kadang kala masih mendominasi cara berpikir dan bertindak saya. Walaupun saya tahu kebenarannya, sebagai pengikut Yesus dituntut untuk meneladani-Nya, mengikuti-Nya secara total dan sungguh-sungguh, menjadi pelaku Firman di tengah-tengah sesama. Well, yang saya sadari, kelemahan kemanusiaan memang terkadang menjadi batu sandungan untuk tetap setia mengikuti-Nya. Dan hanya dengan tetap melekat pada-Nya, kita dimampukan untuk tetap berjalan dalam kehendak-Nya.

Berbicara soal Firman-Nya terkait dengan persaudaraan, pikiran saya langsung connect ke soal kasih. 'Coz semua hubungan “saya dan sesama” idealnya memilikinya sebagai dasar dan tujuan. Sebagaimana Yesus telah datang dan mengasihi semua orang, demikian pun Ia berharap para murid untuk bersaudara dengan datang dan melayani semua orang seperti yang telah Ia teladankan. Menurut saya, kunci utama untuk meneladani-Nya dibangun oleh pemahaman bahwa dasar dari segala pikiran dan tindakan-Nya di dunia ini adalah kasih dan solidaritas total terhadap sesama, tanpa terkecuali.

Menjadi ‘saudara’ - bagi saya - berarti melayani sesama di dalam Allah berdasarkan kasih, menjadi ‘terang’, ‘garam’ dalam kehidupan bersama sesama. Menjadi ‘tangan Allah’ yang selalu terbuka untuk menerima, melayani, mengasihi sesama tanpa terkecuali dengan sungguh. Mencoba menjadi berarti dalam hubungan dengan sesama. Melakukan hal baik dan tidak membiarkan yang tidak baik tetap ada. Tidak lagi mempertanyakan “apa yang baik buat saya”, tetapi memikirkan “apa yang baik buat sesama saya”.

Sabtu lalu, dalam ibadat adven di lingkungan kerja saya, banyak sekali kesaksian yang disharingkan soal bagaimana seorang ‘saudara’ seharusnya memperlakukan saudaranya. Betapa mengharukan dan sungguh membahagiakan menerima kebaikan orang lain yang telah bersikap sebagai ‘saudara’ bagi kita. Hampir semua kesaksian menyatakan ‘saudara saya’ adalah orang yang terdekat dengan ‘saya’, orang-orang dalam komunitas basis yang ‘saya’ tinggali, yang bisa membantu ‘saya’ sewaktu-waktu, yang perduli dengan saya baik saat senang, terlebih di saat susah. Betapa indahnya mendengarkan kesaksian-kesaksian tersebut. Memang menyenangkan menyadari bahwa ada orang-orang yang bersedia menjadi saudara bagi kita dengan tulus hati, tetapi pernahkah kita menyadari apakah kita telah sungguh menjadi saudara bagi orang lain? Apakah kita mau memberikan kebahagiaan yang sama, bahkan lebih seperti yang telah kita terima dari orang lain?

Seorang bapak menceritakan usahanya untuk menjadi saudara yang baik bagi sesama. Dia mencoba menjadi ‘garam’ di tengah-tengah lingkungannya, membantu sesamanya yang membutuhkannya, memancing ‘sisi positif’ kawan-kawannya yang pada awalnya terlihat pasif dan kurang ‘keluar’ untuk menjadi saudara bagi orang lain. Ini sungguh mengagumkan bagi saya. Dia telah memberikan sentilan kecil buat saya. Selama ini saya seringkali memikirkan diri saya sendiri, menilai baik-buruk perlakuan orang lain terhadap saya, dan memikirkan bagaimana saya seharusnya diperlakukan, seperti saya memperlakukan orang lain (yang saya rasa cukup baik). Dia telah mengubah arah berpikir saya, tidak lagi ke ‘dalam’, tetapi mencoba ke ‘luar’. Tidak lagi sibuk dengan diri saya sendiri, tapi mencoba sibuk untuk orang lain, perduli dengan orang lain, tidak perduli bagaimanapun perlakuan mereka terhadap saya, seperti Yesus. Ya…seperti Yesus!

Well, saya berpikir, idealnya, kita bisa menjadi saudara bagi orang lain setelah kita telah menjadi saudara untuk orang lain. Kalaupun tidak, kita seharusnya tetap berusaha menjadi saudara untuk orang lain. Ini adalah hakekat dari kasih, memberikan yang terbaik buat sesama tanpa pamrih. Inilah yang Yesus kehendaki dan telah diteladankan-Nya dalam kemanusiaan-Nya kurang lebih 2000 tahun yang lalu.

Memang terasa sulit untuk menjadi saudara bagi orang yang menolak kita, bagi orang yang seringkali menyakiti kita. Ada dua kasus mengenai ini. Dalam ibadat adven tersebut, ada seorang kawan yang menceritakan masa kecilnya yang menderita karena dipisahkan dengan kawan sepermainannya hanya karena orang tuanya bermusuhan. Setelah sekian lama, orang tua kawan saya itu mempertahankan kebencian, ada satu saat di mana Allah mengubahkan kekerasan hatinya, yaitu saat kawan saya itu mengalami kecelakaan. Tanpa diduga sebelumnya, orang tua kawannyalah yang pertama kali memberikan bantuan dan menyelamatkan nyawa kawan saya itu. Di sini, kasih telah menghancurkan kebencian, sikap persaudaraan yang dilandasi kasih telah meruntuhkan kekerasan hati orang tua kawan saya itu. Air tuba telah dibalas air susu! Inilah yang saya rasa dikehendaki Yesus, tetap mengasihi saat orang lain membenci kita. Tetap menjadi ‘saudara’ bagi orang lain yang menolak dan menyakiti kita. Sebenarnya kasus kedua adalah kasus yang belum terselesaikan, kecuali yang mengalaminya menyadari hikmah dari kejadian yang dialami kawan saya ini. Hm…dalam kasus kedua ini, ada seorang kawan lain yang mengeluhkan perlakuan orang lain dalam menanggapi sikap persahabatannya. Dia kehilangan kepercayaan terhadap orang lain, dan mungkin merasa sulit untuk tetap mengasihi dan menjadi ‘saudara’ kalau dia tetap menerima perlakuan yang tidak mengenakkan. Dia merasa orang yang telah diperlakukannya sebagai saudara, yang dia percayai dengan sungguh seringkali menyia-nyiakan kepercayaannya, mengkhianati sikap persahabatannya. Hmm…saya tidak bisa memberikan saran atau nasehat kepadanya, karena saya tahu dia sudah memiliki nasehat itu di dalam dirinya, dan telah diteguhkan oleh kesaksian kawan saya yang lain. Saya hanya bisa berdoa, semoga dia dan saya, kita semua senantiasa menyadari dan diingatkan-Nya bahwa kasih “menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.” (I Kor. 13:7)

Friends, marilah kita senantiasa melekat pada-Nya, mohon kekuatan dan hikmat-Nya untuk menyadari kehendak-Nya dan melakukannya dengan segenap hati, jiwa dan akal budi kita, seperti yang Dia kehendaki dari setiap kita.

God bless us always!

No comments: