My photo
Tangerang, Banten, Indonesia

Blog Archive


Friday, July 07, 2006

Mencari dan Mengenal Allah dalam Visi Kristiani

Kerinduan manusia akan Tuhan sudah terukir dalam hati manusia sejak awal eksistensinya. Akal budi dan nurani manusia sebagai sarana yang ditujukan untuk mencari dan mengenal Allah (seperti yang tercantum dalam Kanon 2, Konsili Vatikan 1) selalu menuntun manusia pada kesadaran akan keberadaan Tuhan. Satu Pribadi yang berkuasa, Pencipta dan Pemelihara segala sesuatu. Walaupun pada kenyataannya, tidak dapat dipungkiri ada manusia yang memilih untuk tidak terlalu menghiraukannya, bahkan tidak mempercayai keberadaan Tuhan, dan mengedepankan logika/rasionalitas, dan condong untuk mengandalkan dirinya sendiri dalam menghadapi hidupnya. Tetapi sesungguhnya, kebenaran dalam persepsi mereka lambat laun pada satu titik akan mengarah kepada kesadaran akan Sang Pencipta, dan justru meneguhkan kebenaran akan eksistensi-Nya. Namun hal ini tidak akan saya ulas panjang lebar di sini, melainkan akan saya coba uraikan dalam artikel selanjutnya.

Kerinduan yang melahirkan kesadaran akan eksistensi-Nya dan mendorong manusia untuk mengenal-Nya sebenarnya dikarenakan sifat religiusitas manusia. Manusia adalah makhluk religius (Katekismus, 28 ). Manusia diciptakan oleh Allah dan untuk Allah. Dalam kristenitas, manusia dikatakan telah mengenal-Nya, dan terlebih dikenal-Nya sebelum dilahirkan (Mzm. 139:13-16, Yer. 1:5, Yoh.10:14). Manusia dalam nature-nya memiliki sikap keterbukaan kepada kebenaran, keindahan dan pengertian akan kebaikan moral dari hati nuraninya, yang kesemuanya itu mendorongnya untuk mencari dan mengenal-Nya. Dan dalam semuanya itu, ia menemukan tanda-tanda adanya jiwa rohani, jiwa “benih kebakaan yang ada dalam diri kita yang tidak dapat diturunkan nilainya menjadi sekedar barang mati” (Katekismus, 33). Manusia mengungkapkan pencariannya akan Allah dalam keyakinan dan sikap religiusnya dalam berbagai ritual doa, upacara, meditasi, dan sebagainya. Manusia berusaha mencari-Nya dalam pandangan subyektif, di antaranya dengan memakai agama-agama sebagai medianya dan masuk dalam proses itu melalui pengalaman-pengalaman pribadi dalam hidupnya yang melahirkan penilaian pribadi yang terakumulasi dan menjadi poin inti pengenalan akan Dia.

Pencarian manusia akan Allah tetap akan terus berlanjut dengan kegelisahan batin yang menyertainya, sampai pada akhirnya manusia menemukan dan mengenal Allah dalam konsep yang sesuai kehendak-Nya, dan bukan berdasarkan subyektivitasnya yang relatif terhadap Pribadi yang samar. St. Agustinus berkata: “Engkau menciptakan aku bagi diri-Mu ya Allahku. Hatiku tidak tenang sampai beristirahat di dalam Engkau” Dan pemazmur mengatakan: “Jiwaku haus kepada Allah, kepada Allah yang hidup. Bilakah aku boleh datang melihat Allah? Air mataku menjadi makananku siang dan malam, karena sepanjang hari orang berkata kepadaku: "Di mana Allahmu?"” (Mzm. 42:2-3).

Dalam semuanya itu, manusia tidak dapat menyangkal bahwa Tuhan adalah misteri dan manusia hanya dapat berusaha untuk menggambarkan-Nya dalam keterbatasannya. Namun, banyak orang percaya bahwa Allah yang memang adalah misteri berkenan menyatakan diri-Nya dalam berbagai cara. Kristenitas memberikan jawaban untuk pencarian itu. Kristenitas telah memberi dasar bagi manusia untuk memperoleh gambaran, dasar dari konsep tentang Tuhan melalui pewahyuan yang dicatat oleh berbagai orang kudus dari berbagai jaman dan waktu. Dalam kristenitas, Allah telah berkenan untuk memperkenalkan diri-Nya kepada manusia lebih dari apa yang tadinya kita coba dengan hanya mengandalkan kepenuhan akal budi manusiawi kita semata. Kristenitas telah mengajarkan tentang Tuhan selama kurang lebih 2000 tahun hingga sekarang. Tuhan telah diberi wajah yang berbeda, tergantung siapa yang anda dengarkan, latar belakang waktu orang tersebut berbicara dan tentunya dipengaruhi pula oleh sudut pandang anda secara pribadi. Hal ini berarti pula, kita memang tidak dapat melepaskan subyektivitas kita yang dipengaruhi oleh berbagai hal dalam mengenal-Nya, namun dalam kristenitas, subyektivitas itu tidak menjadi liar, melainkan diarahkan kepada-Nya. Setiap orang kristen masing-masing memiliki konsep yang mungkin berbeda dalam mengenal-Nya, tetapi tetap dengan dasar pengenalan yang sama, yakni alkitab.

Juan Arias dalam bukunya, “The God I Don’t Believe” mengungkapkan gambarannya tentang Allah:

Tidak, saya tidak akan percaya pada:
Tuhan yang tiba-tiba menangkap manusia dalam dosa karena kelemahan,
Tuhan yang mengutuk benda-benda materi,
Tuhan yang mencintai penderitaan,
Tuhan yang menyalakan lampu merah kegembiraan manusia,
Tuhan yang membuat diri-Nya ditakuti,
Tuhan yang tidak mengizinkan manusia berbicara secara akrab dengan-Nya,
Tuhan – kakek yang dapat memuntir jari kecil seseorang,
Tuhan – undian yang hanya dapat ditemukan secara kebetulan,
Tuhan – hakim yang hanya dapat memberikan keputusan hanya dengan sebuah buku peraturan dalam tangan-Nya,
Tuhan yang tidak dapat tersenyum atas kesalahan manusia yang janggal,
Tuhan yang main kutuk,
Tuhan yang mengirim manusia ke neraka,
Tuhan yang selalu menuntut seratus persen dalam ujian-ujian,
Tuhan yang dapat dijelaskan sepenuhnya oleh filsafat,
Tuhan yang tidak dapat memahami bahwa anak-anak akan selalu kotor dan lupa,
Tuhan yang menuntut bahwa jika seseorang percaya ia harus berhenti menjadi manusia,
Tuhan yang tidak mau duduk dalam pesta-pesta kegembiraan manusia,
Tuhan yang hanya dapat dimengerti oleh orang dewasa, orang bijak, atau oleh orang-orang yang sudah mapan,
Tuhan yang hanya dipikirkan oleh begitu banyak teolog dan ahli hukum kanon di menara-menara gading mereka,
Tuhan yang berkata, “Kamu harus membayar untuk itu!”
Tuhan yang tidak berbicara dan merasakan apa-apa tentang masalah penderitaan manusia,
Tuhan yang murid-murid-Nya membelakangi kerja dunia dan acuh tak acuh pada hidup saudaranya,
Tuhan yang tidak keluar menemui orang yang telah meninggalkan Dia,
Tuhan yang tidak dapat membuat segalanya menjadi baru,
Tuhan yang tidak pernah menangis bagi manusia,
Tuhan yang bukan cahaya,
Tuhan yang lebih suka kemurnian daripada cinta,
Tuhan yang tidak hadir di tempat manusia saling mencintai,
Tuhan yang bukan misteri, yang tidak lebih besar dari kita,
Tuhan yang untuk membuat kita bahagia menawarkan kebahagiaan yang terpisah dari kodrat manusia,
Tuhan yang tidak mempunyai kemurahan hati matahari yang menghangatkan segala yang disentuh-Nya,
Tuhan yang bukan cinta dan yang tidak tahu bagaimana mengubah segala sesuatu yang Dia sentuh menjadi cinta,
Tuhan yang tidak dapat memikat hati manusia,
Tuhan yang tidak akan menjadi manusia dengan segala akibatnya,
Tuhan yang kepada-Nya saya tidak dapat berharap,
Tidak, saya tidak akan pernah percaya pada Tuhan semacam itu.



Apa yang dikatakan Alkitab tentang Allah?

Dalam seluruh pengajaran kristiani dalam hukum Taurat dan kitab para nabi yang tertuang dalam alkitab, Allah sungguh-sungguh digambarkan sebagai Pribadi yang penuh cinta, bahkan disebutkan bahwa Dialah Cinta itu sendiri (1 Yoh. 4:16) dan menjadikan cinta sebagai dasar, inti dan tujuan hidup manusia, dan merupakan hukum dasar dari seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi (Mat. 22:37-40). Rasul Yohanes memilih kata-kata yang lebih dinamis daripada statis dalam pengenalan akan Allah yang puncaknya adalah pernyataan bahwa Tuhan adalah Cinta, dan karena itu Tuhan selalu dan hanya mencintai dalam arti yang nyata.

Cinta-Nya kepada manusia adalah cinta yang dijanjikan tanpa syarat. Cinta yang murni, kekal dan tidak pernah berubah, tidak tergantung dari sikap bebas manusia.

49:15 Dapatkah seorang perempuan melupakan bayinya, sehingga ia tidak menyayangi anak dari kandungannya? Sekalipun dia melupakannya, Aku tidak akan melupakan engkau.
49:16 Lihat, Aku telah melukiskan engkau di telapak tangan-Ku; tembok-tembokmu tetap di ruang mata-Ku. (Yes 49:15-16)


“…Karena Allah telah berfirman: "Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau."” (Ibr. 13:5).

Alkitab memberikan gambaran kasih Allah yang salah satunya terlihat dalam cerita “Anak yang hilang” (Luk. 15:11-32). Allah digambarkan sebagai Bapa yang mencintai sang anak yang dengan kehendaknya sendiri menjauh dari-Nya. Dia selalu menunggu dan mengharapkan anak itu (yang adalah gambaran dari kita, para pendosa) untuk berbalik kepada-Nya. Karena Dia menghendaki bahwa semua manusia menjadi selamat (1 Tim.2:4). Di sini Yesus menggambarkan bahwa cinta Allah kepada manusia adalah tetap, terlepas dari keputusan manusia untuk menolak atau menerima-Nya. Dalam cinta pula, Allah menghendaki manusia membina relasi dengan-Nya. Dan dalam alkitab, menggambarkan diri-Nya dalam relasi seperti itu dengan ungkapan cinta antara Bapa dengan anak, Mempelai Pria dengan mempelai wanita. Dan terkait dengan hal ini, rasa takut akan Allah tidak ditekankan oleh Yesus dalam membina hubungan iman manusia dengan Allah, melainkan hanya dalam dan bersandarkan pada cinta kasih.


Mengenal Allah melalui pribadi Yesus

Yesus adalah Sang Sabda yang hidup. Sang Sabda yang sudah sejak awal mula bersama dengan Allah dalam kekekalan dan kesatuan-Nya. Sabda yang berkenan tinggal di tengah-tengah manusia. Inkarnasi-Nya adalah bukti cinta-Nya kepada manusia (Yoh. 3:16). Rasul Paulus menyebut Yesus “gambar yang kelihatan dari Allah yang tak kelihatan” (Kol. 1:15). Para teolog menyebut Yesus sebagai “jendela kita kepada Tuhan”. Yesus sendiri mengatakan bahwa diri-Nya dan Bapa adalah satu (Yoh. 10:30), dan meyakinkan kepada Filipus, “Barangsiapa melihat Aku, melihat Bapa” (Yoh. 14:9). Dan rasul Yohanes menulis dalam pengantar injilnya:

1:14 Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran.

1:18 Tidak seorangpun yang pernah melihat Allah; tetapi Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakan-Nya. (Yoh. 1:14, 18 )


Pribadi ilahi Yesus adalah jalan yang paling aman untuk mengenal Allah dan menuju suatu sikap yang lebih tepat terhadap Allah dalam menanggapi kasih-Nya dengan menaati Yesus. Karena inkarnasi-Nya dalam Yesus Kristus ditujukan agar kita mengenal Allah di dalam keterbatasan manusiawi kita dan meneladani-Nya untuk menuju kepada Allah dengan sepenuhnya pada akhirnya nanti.

“Kata Yesus kepadanya: “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” (Yoh. 14:6)

Dalam hidupnya, Yesus secara total dan radikal menerapkan, meneladankan dan menjadikan kasih sebagai titik sentral dalam karya-karya-Nya, yang berpuncak pada kematian-Nya sebagai wujud kasih yang paling besar yang diteladankan-Nya kepada manusia (Yoh. 15:13). Dia merombak seluruh tradisi manusia yang tidak sesuai dengan kehendak Allah dan memberi makna baru dalam pelaksanaan hukum-hukum sebelumnya, yakni hukum-hukum dalam perjanjian lama yang dikumpulkan kembali oleh orang-orang Yahudi setelah pendudukan Babylonia (587-539 sebelum Masehi) atas izin Raja Cyrus kurang lebih 500 tahun sebelum kelahiran Yesus, yang mencakup kitab Taurat yang merupakan kumpulan hukum yang mengatur hidup bangsa Israel yang adalah bagian perjanjian Allah dengan umat-Nya yang dijalankan secara kaku dan mutlak.

Dalam bukunya, Visi Kristiani, John Powell, SJ mengatakan bahwa menghadapi sikap para ahli Taurat dan orang Farisi itu, Yesus berkali-kali menegaskan bahwa Tuhan adalah Cinta. Dia memanggil kita ke dalam suatu relasi cinta dan bukan relasi legalistik dengan-Nya. Lebih jauh Dia mengajarkan bahwa perintah-perintah hukum diangkat, diperhalus dan diringkas dalam hukum cinta Tuhan dan sesama (Mat. 22:34-40). Dia menegaskan bahwa Dia datang tidak untuk meniadakan hukum, melainkan membawanya ke dalam kepenuhan dan kesempurnaannya dalam cinta (Mat. 5:17-20). Dan ini dinyatakan-Nya berulang-ulang dalam menanggapi orang Farisi yang berkali-kali mencobai-Nya (lih. Yoh. 8:1-11).

Dari seluruh tindakan-Nya, Yesus pada intinya ingin mengatakan bahwa: “kamu dapat menaati hukum tanpa mencintai, tetapi kamu tidak dapat benar-benar mencintai tanpa menaati hukum”. Lebih jauh, Yesus justru menunjukkan bahwa cinta akan menuntut lebih banyak dari kita daripada yang dapat diminta hukum, yang dalam kesempurnaan pelaksanaannya didasarkan pada kekuatan dan cinta Allah.

Sebagai bagian dari penyempurnaan hukum taurat, Yesus berkali-kali menunjukan cinta-Nya kepada para pendosa (Mat. 9:9-13) seperti pelacur, pemungut cukai dan orang-orang yang terpinggirkan, karena untuk itulah Dia datang, mempertobatkan para pendosa, menjadi ‘tabib’ bagi orang yang sakit (Luk. 5:31). Allah memang membenci kejahatan dan dosa, tetapi Dia tidak pernah sekalipun membenci manusia. Seperti perumpamaan “anak yang hilang” Allah selalu merindukan kembalinya para pendosa dalam pertobatan (Luk. 15:1-7). Cinta-Nya pada para pendosa adalah sikap perang terhadap dosa itu sendiri. Cinta-Nya menyembuhkan dan memulihkan hubungan yang rusak antara manusia dengan Allah.

Dari seluruh teladan Yesus, kita dimampukan untuk melihat kebaikan Allah, mengenal siapa Allah. Karena memang dengan misi itulah Yesus datang untuk mewartakan Kerajaan Allah, dan menyatakan kepada manusia segala sesuatu yang dikehendaki-Nya, yang Dia dengar dari Bapa-Nya (Yoh. 5:19,30). Mengenal Allah menjadi sesuatu yang terjangkau bagi manusia di dalam Yesus. Dia meneladankan untuk memandang segala sesuatu dengan mata iman dalam kekuatan cinta (Yoh. 13:34-35). Dan pada akhirnya di dalam Yesus, kita telah diperkenankan mengenal dan percaya akan kasih Allah kepada kita. Allah adalah kasih dan barangsiapa hidup dalam kasih, ia tetap berada dalam Allah dan Allah dalam Dia. Di dalam kasih tidak ada ketakutan, kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan (Yoh 4:16,18 ).

1 comment:

cKAja said...

bagus nih artikelnya, terimakasih ya!